Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Anak KPM PKH Dan Dusunnya Yang Sekarat

Hari itu semua siswa melaksanakan ujian akhir semester, kecuali seorang siswa laki-laki kurus berseragam putih-abuabu usang.

Namanya Mpung, pelajar kelas XI di Sebuah sekolah negeri, anak dari salah satu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) dampingan kami di Kabupaten Tolitoli.

Saat teman-temannya fokus mengerjakan soal-soal ujian, Ia malah pontang-panting kesana-kemari menghadap setiap pejabat birokrasi sekolah agar ber iba hati memberi dispensasi atas tunggakan uang sekolah yang belum dilunasi orang tuanya yang miskin.

Namun apalah daya pihak sekolah sepertinya memegang kuat prinsip "sekalipun langit runtuh aturan harus tetap ditegakkan". Tidak ada dipensasi, tidak ada pengecualian. Tidak lunasi tunggakan, tidak ada tiket ujian. Mpung harus terima kenyataan.

Untuk mendapatkan tiket masuk ruang ujian disyaratkan harus sudah menyelesaikan biaya-biaya yang telah disepakati dalam forum para wali murid.

Biaya-biaya tersebut berupa sumbangan pembangunan lapangan, pembelian seragam sekolah, biaya masuk siswa baru, sumbangan bulanan dan lain-lain.

Sudah menjadi rahasia umum meskipun ada larangan menarik pungutan tetap saja masih ada sekolah nakal yang mempraktekkannya. Dengan dalih "sumbangan orang tua siswa" maka hal tersebut hukumnya halal. - Kalau hanya berupa sumbangan kok mengikat dan jumlahnya sudah ditentukan -.

Kelurga Mpung menjadi KPM PKH pada tahun 2018, sudah dua kali bantuan untuk keluarga ini disalurkan. Semua bantuan yang diterima, seluruhnya dibelanjakan untuk kepentingan sekolah Mpung. Keluarga ini paham benar investasi paling ampuh memutus mata rantai kemiskinan yang disampaikan dalam kegiatan Famili Developnen Season (FDS).

"Cukup kami yang rasakan pahit dan getirnya kemiskinan, anak-anak harus hidup lebih mapan", kira-kira seperti itu inti curhatan kedua orang tua Mpung tat kala saya berkunjung kerumahnya di sebuah dusun kecil diantara perbukitan penuh pohon cengkeh kerdil yang mungkin akan mati sebelum pemiliknya menikmati hasil panen yang bertahun-tahun dinati-nantikan.

Di dusun itu nampak pula pohon-pohon kakao yang hidup segan mati tak mau. Menurut warga dusun kebun-kebun kakao tersebut pernah coba diselamatkan pemerintah dengan Program Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (GERNAS Kakao), namun sayang program tersebut gagal karena banyak dananya ditilep oknum berhati binatang.

Boleh dibilang dusun tempat tinggal Mpung sedang sekarat. Anak-anak muda semuanya hijrah kekota menjadi buruh bangunan, karyawan toko, tukang jaga kandang ayam dan beberpa pindah ke daerah lain menjadi buruh tani.

Dusun tempat tinggal Mpung sangat mengharapkan uluran tangan, tanah disana luas-luas, sungai mengalir sepanjang tahun tidak pernah kering saat kemarau, bukit-bukitnya landai, udaranya sejuk, hujan turun dengan normal, tak pernah kebanjiran dan tak ada longsor. Dusun Mpung hanya perlu sedikit sentuhan.

Cukup bimbingan ahli bagaimana cara memanfaatkan lahan, bagaimana cara ideal bertani dan berkebun, bagaimana cara beternak dan memelihara ikan. Dan mungkin juga bantuan benih, pupuk dan sedikit modal serta jaminan pasar, dusun ini akan jadi penyumbang pendapatan negara bukan lagi beban keuangan negara.
Puisi karya Mpung
Puisi karya Mpung

Post a Comment for "Kisah Anak KPM PKH Dan Dusunnya Yang Sekarat"